Rabu, 10 Desember 2014

Rupanya Awak Berada di Medan

Kali ini aku dapat kesempatan untuk Kerja Dinas ke Kota Medan. Yah, namanya juga Sadam, setiap moment yang dilewati harus berkesan. Ditemani oleh Mas Achmad Subekhi, perjalanan dinas ke Medan kali ini tidak boleh hanya ala kadarnya. Sesi traveling harus tetap menjadi agenda, meskipun di tengah keterbatasan waktu dan sarana.

Gedung Gubernur dan Bank Indonesia Sumut di Medan
Kota Medan, dengan ikon khas Istana Maimun yang merupakan peninggalan desainer Italia untuk Kerajaan Deli, penduduk asli Medan yang pada dasarnya adalah Suku Melayu. Ini adalah kota pertama yang aku kunjungi di Pulau Sumatera. Selain Istana Maimun, durian, bentor atau becak montor, dan kereta (sebutan orang Medan untuk sepeda motor) adalah khasanah khas dari Kota Medan.

Medan tak jauh berbeda dengan kota – kota besar yang ada di Pulau Jawa. Suasana yang ramai, penuh dengan manusia dan kendaraan. Kota yang juga mengklaim sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya ini rupanya sudah banyak beridiri bangunan – bangunan pencakar langit serta mall-mall yang terlihat modern. Medan juga menyimpan banyak rekaman dalam catatan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia, ialah Pertempuran Medan Area yang menceritakan perjuangan pemuda Sumatera Utara melawan Tentara Sekutu dan NICA pada Oktober 1945.

Selain menyimpan catatan sejarah, Kota Medan juga menyimpan banyak sekali kuliner khas nusantara, di antaranya ialah Warung Sipirok yang menjajakan masakan khas Batak dan Ucok yang menjajakan durian montong Medan. Di Sipirok yang paling aku sukai adalah daging asap dan daun singkok tumbuk. Rasa daging asapnya pedas dan bikin nagih. Di Medan juga terdapat banyak masakan khas Sumatera lainnya, terutama Aceh. Bagi orang Medan, Mie Aceh yang dijual di Medan rasanya lebih enak daripada Mie Aceh yang ada di Aceh sendiri. Aku sendiri sempat mencicipi gurihnya Kari Kambing di Medan Timur.


Miniatur Istana Maimun di Kualanamu Int'l Airport
Memang tidak banyak tempat wisata yang bisa dikunjungi di Medan, tetapi kota-kota penyangga Medan menyimpan banyak tempat wisata menarik yang laik untuk dikunjungi, diantaranya adalah Berastagi dan Samosir. Karena untuk mencapai Samosir memerlukan waktu yang tidak singkat yakni sekitar 5 jam, maka kami memutuskan untuk mengunjungi Berastagi yang hanya memerlukan waktu tempuh tidak lebih dari 2 jam. Berastagi sebenarnya merupakan nama sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Karo. Di Berastagi, kami menginap di salah satu hotel yang cukup menarik, ialah Hotel Bukit Kubu. Bangunan hotel berbentuk rumah khas Batak serta lapangan yang luas menjadi daya tarik bagi Hotel Bukit Kubu.

Perjalanan ke Berastagi kami tempuh dengan perjalanan malam. Jalanan yang berkelak – kelok, udara yang dingin, serta banyak truk-truk besar menjadi teman kami malam itu. Aku dan Mas Achmad ditemani oleh Mba Noura dan kawan-kawan.

Kami tidak berlama-lama di Berastagi, setelah subuh, kami menikmati pagi sebentar lalu pulang. Pagi di Berastagi sangat sejuk. Suasana hotel juga mendukung, dengan padang rumput yang luas dan tertata rapi. pepohonan, serta bunga-bunga yang warna-warni. Sungguh rumah impian sekali.

Kami menyempatkan sarapan pagi di Warung Bahagia di Desa Peceren. Menu sarapanku sendiri pagi itu adalah Lontong Pecal dan Cendol Hangat. Pecal yang dimaksud adalah Pecel, tetapi sayuran yang digunakan berbeda. Pecal terdiri dari batang genjer, daun papaya, dan daun bayam yang disiram dengan bumbu kacang dengan rasa kencur yang menyengat. Rasanya cukup menarik, terutama bagi penyuka sayur-mayur.

Suasana di Hotel Bukit Kubu
Dari Warung Bahagia kita mampir ke Penatapan. Penatapan ini sebenarnya mirip dengan Gombel yang ada di Semarang. Hanya saja kalau di Gombel, warung-warungnya berupa resto modern, kalau di Penatapan, warung-warung masih sederhana milik warga setempat. Sensasinya sama, melihat pemandangan indah bukit – bukit di Karo. Yang unik lagi, banyak monyet-monyet hutan berada di sekitar warung-warung di Penatapan. Mereka beberapa kali bahkan berani mendekat ke pengunjung.

Puas dengan Berastagi, kami bersiap untuk kembali ke Jakarta. Bolu Meranti, Bika Ambon, dan Pancake Durian sudah ditangan. Kali ini aku dan Mas Achmad merealisasikan keinginan kita, yaitu naik kereta eksekutif dari Stasiun Merdeka ke Bandara Kualanamu, yang bernama Railink. Harga tiket Railink ini adalah Rp 80.000 dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. Bagiku, moda seperti itu sebaiknya sudah diterapkan di semua Bandar udara internasional di seluruh nusantara.

Medan, berkesan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar